Selasa, 13 Oktober 2015

Cara berpakaian laki-laki dan wanita

Cara berpakaian laki-laki dan wanita





Salah satu perbedaan sistem Islam dengan sistem Kapitalis adalah bahwa sistem Kapitalis memandang persoalan sosial dan rumah tangga dianggap sebagai masalah ekonomi, sedangkan sistem Islam masalah-masalah di atas dibahas tersendiri dalam hukum-hukum seputar interaksi pria-wanita (nizhâm al-ijtima’iyyah). Misalnya dalam sistem kapitalisme tidak ada istilah zina jika laki-laki dan perempuan melakukan hubungan suami isteri tanpa ikatan pernikahan asal dilakukan suka-sama suka atau saling menguntungkan sebaliknya disebut pelecehan seksual dan pelakunya dapat diajukan ke pengadilan jika seorang suami memaksa dilayani oleh seorang isteri sementara isterinya menolak.

Karena itu dalam persoalan pakaian antara penganut sistem kapitalis dan sistem Islam jelas perbeda. Dalam sistem kapitalis pakaian dianggap sebagai salah satu ungkapan kepribadian, sebagai unsur penarik lawan jenis dan karena itu memiliki nilai ekonomis. Bentuk tubuh seseorang –apalagi wanita– sangat berpengaruh terhadap makna kebahagiaan dan masa depan.

Adapun Islam menganggap bahwa pakaian digunakan memiliki karakteristik yang sangat jauh dari tujuan ekonomis apalagi yang mengarah pada pelecehan penciptaan makhluk Allah. Karena itu di dalam Islam:

1. Pakaian dikenakan oleh seorang muslim maupun muslimah sebagai ungkapan ketaatan dan ketundukan kepada Allah, karena itu berpakaian bagi seorang muslim memiliki nilai ibadah. Karena itu dalam berpakaian iapun mengikuti aturan yang ditetapkan Allah.

2. Kepribadian seseorang ditentukan semata-mata oleh aqliyahnya (bagaimana dia menjadikan ide-ide tertentu untuk pandangan hidupnya) dan nafsiyahnya (dengan tolok ukur apa dan seberapa banyak dia berbuat dalam memenuhi kebutuhan hidup dan melampiaskan nalurinya).

3. Setiap manusia memiliki kedudukan yang sama, yang membedakan adalah takwanya.

Melalui cara berpakaian yang Islami, sesungguhnya Allah juga berkehendak memuliakan manusia sebagai makhluk yang memang telah Allah ciptakan sebagai makhluk yang mulia. Sebaliknya dengan tidak mengikuti cara berpakaian sesuai yang dikehendaki Allah, menyebabkan kedudukan manusia jatuh.

Walhasil seorang muslim dan muslimah wajib mengetahui aturan berpakaian agar dalam berpakaian dan berpenampilan ia akan mendapatkan ridha Allah, bukan sebaliknya mendapatkan murka Allah.

B. Pakaian Bagi Seorang Muslim

Pakaian yang dikenakan oleh seorang muslim haruslah memenuhi syarat tertentu, yakni:

1. Menutup aurat;
2. Tidak terbuat dari emas atau sutera;
3. Tidak menyerupai pakaian wanita;
4. Tidak menyerupai orang-orang kafir.

C. Aurat Laki-Laki

Aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut, berdasarkan riwayat ‘Aisyah:

Dari ‘Amr bin Syu’aib dari Bapaknya dari kakeknya, beliau menuturkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Jika ada di antara kalian yang menikahkan pembantu, baik seorang budak ataupun pegawainya, hendaklah ia tidak melihat bagian tubuh antara pusat dan di atas lututnya.” [HR. Abu Dawud, no. 418 dan 3587].

Rasulullah Saw bersabda:

Aurat laki-laki ialah antara pusat sampai dua lutut. [HR. ad-Daruquthni dan al-Baihaqi, lihat Fiqh Islam, Sulaiman Rasyid].

Dari Muhammad bin Jahsyi, ia berkata: Rasulullah Saw melewati Ma’mar, sedang kedua pahanya dalam keadaan terbuka. Lalu Nabi bersabda:

“Wahai Ma’mar, tutuplah kedua pahamu itu, karena sesungguhnya kedua paha itu aurat.” [HR. Ahmad dan Bukhari, lihat Ahkamush Sholat, Ali Raghib].

Jahad al-Aslami (salah seorang ashabus shuffah) berkata: pernah Rasulullah Saw duduk di dekat kami sedang pahaku terbuka, lalu beliau bersabda:

“Tidakkah engkau tahu bahwa paha itu aurat?” [HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Malik, lihat Shafwât at-Tafâsir, Muhammad Ali ash-Shabuni].

Juga Rasulullah Saw pernah berkata kepada Ali ra: “Janganlah engkau menampakkan pahamu dan janganlah engkau melihat paha orang yang masih hidup atau yang sudah mati.” [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, lihat Shafwât at-Tafâsir, Muhammad Ali ash-Shabuni].

Larangan Memakai Emas Dan Sutera Bagi Laki-Laki

Larangan ini berdasarkan hadits:

Diriwayatkan dari al-Bara’ bin Azib r.a katanya: “Rasulullah Saw memerintahkan kami dengan tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh perkara. Baginda memerintahkan kami menziarahi orang sakit, mengiringi jenazah, mendoakan orang bersin, menunaikan sumpah dengan benar, menolong orang yang dizalimi, memenuhi undangan dan memberi salam. Baginda melarang kami memakai cincin atau bercincin emas, minum dengan bekas minuman dari perak, hamparan sutera, pakaian buatan Qasiy yaitu dari sutera, serta mengenakan pakaian sutera, sutera tebal dan sutera halus.” [HR. Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad, CD Al-Bayan 1212].

Larangan Menyerupai Wanita

Seorang laki-laki dilarang bertingkah laku, termasuk berpakaian menyerupai wanita dan sebaliknya seorang wanita bertingkah laku termasuk berpakaian seperti laki-laki.

Larangan Menyerupai Orang Kafir

Menyerupai orang kafir (tasyabbuh bil kuffar) dilarang bagi muslim maupun muslimah. Tasyabbuh dapat dilakukan melalui pakaian, sikap, gaya hidup maupun pandangan hidup.

Bagi seorang laki-laki pakaian yang harus dikenakan sama, apakah dia di dalam rumah, di luar rumah, di hadapan mahram atau bukan, kecuali di hadapan isteri.

D. Pakaian Bagi Seorang Muslimah

Adapun pakaian yang dikenakan oleh seorang muslimah haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Menutup aurat;
2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, khumur, mihnah dan memenuhi kriteria irkha’);
3. Tidak tembus pandang;
4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya;
5. Tidak tabarruj;
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki;
7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.

Rincian masing-masing persyaratan di atas berbeda-beda berdasarkan:

1. Keberadaan wanita di tempat umum atau di tempat khusus.

2. Keberadaan wanita di hadapan mahram atau bukan atau di hadapan suami atau bukan.

Penampilan wanita dibedakan antara tempat khusus dan tempat umum. Misalnya di dalam rumah sendiri seorang wanita boleh membuka jilbabnya dan hanya memakai mihnahnya, kecuali jika ada tamu laki-laki non muhrim. Adapun di tempat umum penampilan wanita dibatasi dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

a. Kewajiban menutup aurat, seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan.

b. Kewajiban menggunakan pakaian khusus di kehidupan umum, yaitu kerudung (khimar) dan jilbab (pakaian luar yang luas (seperti jubah) yang menutup pakaian harian yang biasa dipakai wanita di dalam rumah (mihnah), yang terulur langsung dari atas sampai ujung kaki.

c. Larangan tabarruj (menonjolkan keindahan bentuk tubuh, kecantikan dan perhiasan di depan laki-laki non muhrim atau dalam kehidupan umum).

d. Larangan tasyabbuh terhadap laki-laki.

Khusus untuk wanita menopause diperbolehkan Allah untuk melepaskan jilbabnya hanya saja tetap diperintahkan untuk tidak tabarruj, sehingga diperbolehkan baginya menggunakan baju panjang selapis/tidak rangkap (bukan jilbab) model apa saja selama tidak menampakkan keindahan tubuhnya seperti baju panjang atas bawah, kulot panjang dan lain-lain, Qs. an-Nûr [24]: 60).

Pakaian wanita di dalam rumahnya cukup menggunakan mihnah (kecuali ada tamu bukan mahrom, maka wajib menutup aurat yang harus ditutup di hadapan bukan mahrom). Di hadapan mahrom maka cukup menggunakan mihnah (kecuali di tempat umum maka harus memenuhi pakaian wanita di tempat umum), di hadapan suami tidak ada keharusan menutup bagian tubuhnya (walaupun dianjurkan tidak telanjang).

E. Aurat Wanita

Pembahasan aurat wanita dibagi menjadi tiga keadaan, yaitu:

1. Di hadapan suami mereka maka wanita boleh menampakkan seluruh bagian tubuhnya (berdasarkan hadits riwayat Bahz bin Hakim).

2. Di hadapan muhrimnya dan orang-orang yang disebut dalam Qs. an-Nûr [24]: 31 dan Qs. an-Nisâ’ [4]: 23 maka baginya boleh menampilkan bagian tertentu dari anggota tubuhnya yang biasa disebut mahaluzzinah yaitu anggota badan yang biasanya dijadikan tempat perhiasan, seperti: kepala seluruhnya, tempat kalung (leher), tempat gelang tangan (pergelangan tangan) sampai pangkal lengan dan tempat gelang kaki (pergelangan kaki) sampai lutut. Mahaluzzinah ini biasa tampak ketika wanita memakai baju dalam rumah (mihnah). Selain itu anggota tubuh lain boleh tampak termasuk apabila ada hajat seperti perut, payudara, kecuali aurat yang ada di antara pusar dan lutut.

Pemahaman mahaluzzinah ini diambil dari firman Allah SWT:

“….dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali…” (Qs. an-Nûr [24]: 31).

Kata zinah yang secara bahasa berarti perhiasan, tetapi bukanlah perhiasan yang biasa dipakai orang tetapi makna zinah di sini adalah anggota badan yang merupakan tempat perhiasan (mahaluzzinah), karena illa mâ zhahara minha yang dimaksud adalah yang biasa nampak pada saat itu (saat ayat ini turun) yaitu muka dan telapak tangan, jadi menyangkut anggota badan.

1. Adapun di hadapan laki-laki selain suami dan muhrimnya maka aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.

Dasar dari penentuan aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, yaitu:

“….dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. an-Nûr [24]: 31).

Sedangkan yang dimaksud dengan yang biasa nampak daripadanya adalah wajah dan telapak tangan. Karena dua bagian ini yang biasa nampak dari wanita muslimah di hadapan Rasul Muhammad Saw (baik dalam sholat, haji maupun dalam kehidupan sehari-hari di luar sholat dan haji) dan Rasul mendiamkannya sementara ayat-ayat al-Qu’ran masih turun. Tafsir mengenai hal ini, Ibnu Abbas menyatakan yang dimaksud dengan illa mâ zhahara minha adalah muka dan tangan, juga dari Imam Ibnu Jarir ath-Thabari menyatakan “Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa sesuatu yang biasa nampak adalah muka dan telapak tangan.” (Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, jld. 18, hal. 94). Hal tersebut diperkuat dengan sabda Rasul Saw kepada Asma’ binti Abu Bakar:

“Wahai Asma’: Sesungguhnya wanita yang telah haid tidak layak baginya terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini. Beliau menunjuk pada wajah dan telapak tangannya.” [HR. Abu Dawud, No. 3580].

Qs. an-Nûr [24]: 31 turun sebelum ayat tentang jilbab sehingga ayat ini hanya menyampaikan batasan aurat dan perintah memakai kerudung. Sedangkan kewajiban berjilbab akan dibahas menyusul.

Adapun berkaitan dengan apa aurat itu ditutup, maka sesungguhnya syara’ tidak menentukan pakaian tertentu untuk menutup aurat, tetapi hanya memberikan beberapa syarat yaitu:

1. Pakaian itu tidak menampakkan aurat (dapat menutup semua aurat).

2. Pakaian itu dapat menutup kulit, sehingga tidak diketahui warna kulit dari wanita yang memakainya, yaitu apakah kulitnya putih, merah, kuning, hitam dan lain-lain. Apabila tidak memenuhi syarat tersebut tidak dapat diianggap sebagai penutup aurat. Jika pakaian itu tipis misal brokat, kerudung tipis, kaos kaki tipis, rukuh tipis dan lain-lain, sehingga kelihatan warna kulit (rambut) si pemakai pakaian itu, maka wanita yang memakai pakaian tersebut dianggap auratnya tampak atau tidak menutupi auratnya. Dalil bahwa syariat Islam telah mewajibkan menutup kulit sehingga tidak tampak warna kulitnya adalah hadits yang diriwayatkan dari A’isyah ra, beliau telah meriwayatkan bahwa Asma’ binti Abu Bakar datang kepada Rasulullah Saw dengan memakai baju yang tipis maka Rasulullah memalingkan wajahnya dari Asma’ dan bersabda:

“Wahai Asma’: Sesungguhnya wanita yang telah haid tidak layak baginya terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini…” [HR. Abu Dawud, no. 3580].

Rasulullah dalam hadits di atas menganggap baju yang tipis belum menutup aurat dan menganggap auratnya terbuka, sehingga beliau memalingkan wajah dari Asma’ dan memerintahkan Asma’ untuk menutup aurat. Dalil lain yang memperkuat dalam masalah ini adalah hadits yang diriwayatkan Usamah:

“Perintahkan isterimu untuk mengenakan pakaian tipis lagi (gholalah) di bawah baju tipis tersebut. Sesungguhnya aku takut wanita itu tersifati tulangnya.”

Rasulullah Saw ketika mengetahui Usamah memakaikan pakaian tipis itu pada isterinya, beliau menyuruhnya agar isterinya mengenakan pakaian tipis lagi di bawah pakaian tipisnya itu. Dan Rasulullah memberi illat pada masalah itu dengan sabdanya:

“Sesungguhnya aku takut wanita itu tersifati tulangnya.”

Artinya wanita harus menutup sifat dari tulangnya, tidak boleh menggunakan pakaian yang tipis, sehingga kelihatan warna kulitnya.

Dengan demikian wanita harus memperhatikan 2 syarat tersebut ketika memilih jenis dan bahan pakaian penutup aurat termasuk penutup aurat di depan mahrom dan wanita lain seperti celana 3/4 sampai lutut, daster dan lain-lain.

Hanya saja apabila wanita selain yang menopause berada di luar rumah atau tempat-tempat umum (masjid, pasar, jalanan dan lain-lain) maka selain batasan aurat dan larangan tabarruj, terdapat ketentuan lain yang perlu diperhatikan yaitu adanya kewajiban menggunakan pakaian khusus yang telah diperintahkan Allah berupa khimar (kerudung) dan jilbab (jubah langsungan dari atas sampai ujung kaki), bukan pakaian lain seperti baju panjang atas bawah, kulot panjang dan lain-lain. Meskipun jenis baju tersebut menutup aurat tetapi bukan termasuk jilbab, oleh karena itu jenis pakaian tersebut hanya bisa dipakai oleh wanita yang sudah menopause dan sudah tidak punya keinginan seksual (Qs. an-Nûr [24]: 60). Untuk wanita menopause ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan dalam berpenampilan yaitu tidak diperbolehkan tabarruj. Oleh karena itu celana panjang, kaos kaki panjang, kaos stret pas badan tidak boleh digunakan sebagai penutup aurat wanita menopause karena termasuk tabarruj (menonjolkan kecantikan dan perhiasan/bentuk tubuh). Untuk lebih detailnya tentang pakaian khusus di kehidupan umum maka dapat dilihat pada pembahasan selanjutnya.

Pakaian Wanita di dalam Kehidupan Umum

Dalam kehidupan umum, yaitu pada saat wanita berada di luar rumahnya/di hadapan laki-laki non mahrom, maka seorang wanita harus menggunakan pakaian secara sempurna, yakni:
1. Menutup aurat;
2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, khumur, mihnah dan memenuhi kriteria irkha’);
3. Tidak tembus pandang;
4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya;
5. Tidak tabarruj;
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki;
7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.

Dalil-dalil mengenai masalah ini lihat lagi pembahasan di atas. Adapaun dalil lainnya adalah sebagai berikut:

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkankhumur (kain kerudung) ke juyub (dada)-nya, dan janganlah menampakkan perhiasanyaa, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung’.” (Qs. an-Nûr [24]: 31).

Kewajiban menggunakan khumur muncul dari perintah dan hendaklah mereka menutupkan khumur/kain kerudung ke juyub (dada)-nya.

Khumur adalah jama’ dari khimar yaitu kerudung yang menutupi kepala, dan juyub adalah jama’ dari kata jaibun yaitu ujung pakaian (kancing pembuka) yang ada di sekitar leher dan di atas dada. Dengan kata lain khimar adalah kain yang menutupi kepala tanpa menutupi wajah, terulur sampai sampai menutupi ujung pakaian bawah (jilbab) yakni kancing baju di atas dada. Dengan demikian untuk bagian atas badan wanita diwajibkan mengenakan kerudung yang diulurkan sampai ujung pakaian (kancing pembuka)/di atas dada. Sedangkan bawahnya diperintahkan menggunakan jilbab/jubah. Dalil kewajibannya adalah sebagai berikut: (1) ungkapan Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka sebagaimana disebutkan dalamfirman Allah SWT:

“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. al-Ahzab [33]: 59).

(2) Kebolehan menanggalkan pakaian luar (jilbab) bagi wanita menopouse dengan ungkapan tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka sebagaimana dalam firman Allah SWT:
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan (tabarruj), dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. an-Nûr [24]: 60).

(3) Ungkapan salah seorang di antara kami tidak mempunyai jilbab, Rasulullah bersabda: “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.” Sebagimana dalam hadits dari Ummu ‘Athiyah ra. Berkata:

Rasulullah memerintahkan kepada kami, nenek-nenek, wanita yang sedang haid, wanita pingitan untuk keluar pada hari raya Fitri dan Adha. Maka bagi wanita yang sedang haid janganlah sholat dan hendaklah menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Saya berkata: “Ya Rasulullah salah seorang di antara kami tidak mempunyai jilbab”, Rasulullah bersabda: “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (HR. Muslim, no 1475].

Pada Qs. al-Ahzab [33]: 59 dan hadist dari Ummu ‘Athiyah, Allah dan Rasul-Nya memerintahkan muslimah menggunakan sejenis pakaian yang disebut jilbab.

Memahami Pengertian Jilbab

Kata jilbab digunakan di dalam al-Qur’an dan Hadits, namun maksud kata itu harus dikembalikan pada maksud yang dipahami oleh masyarakat ketika kata itu diturunkan/diungkapkan. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata jilbab (pada nash tersebut): baju luar yang berfungsi menutupi tubuh dari atas sampai bawah (tanah). Dalam kamus arab Al-Muhith, jilbab bermakna: Pakaian yang lebar bagi wanita, yang menutupi tsiyab/mihnah (pakaian harian yang biasa dipakai ketika berada di dalam rumah), bentuknya seperti malhafah (kain penutup dari atas kepala sampai ke bawah). Demikian pula yang disebutkan oleh al-Jauhari dalam kitab Ash Shihah. Definisi jilbab ini juga tersirat dalam Qs. an-Nûr [24]: 60 walaupun pada ayat tersebut Allah menggunakan istilah tsiyab untuk menyebut makna jilbab.

Dari Qs. an-Nûr [24]: 60 dapat diambil pemahaman bahwa wanita menopause yang sudah tidak mempunyai keinginan seksual diperbolehkan melepaskan tsiyabnya (pakaian luarnya/jilbab), berarti tersisa mihnah, hanya saja selanjutnya diperintahkan untuk tidak menampakkan kecantikan, bentuk tubuh, perhiasan (tidak tabarruj) yaitu diperbolehkan menggunakan baju apa saja sejenis mihnah yang tidak menampakkan kecantikan/bentuk tubuh seperti baju atas bawah panjang, daster, kulot panjang dan lain-lain, tidak seperti celana ketat panjang karena hal itu termasuk tabarruj. Tsiyab disini dipahami pakaian luar/jilbab bukan baju biasa karena tidak mungkin Allah memerintahkan wanita menopause telanjang. Berarti dapat dipahami pula bagi wanita yang belum menopause diwajibkan untuk menggunakan tiga lapis/jenis pakaian ketika di hadapan laki-laki non mahrom yaitu kerudung, mihnah dan jilbab.

Adapun Hadist dari Ummu ‘Athiyah menerangkan dengan jelas ketika wanita keluar rumah/dihadapan laki-laki non mahrom diwajibkan menggunakan pakaian yang dipakai di atas pakaian dalam rumah (mihnah), sebagaimana Ummu ‘Athiyah berkata kepada Rasulullah Saw: “Salah seorang dari kami tidak mempunyai jilbab”, maka Rasulullah menjawab: “Hendaklah saudara perempuannya meminjamkan jilbabnya.” Artinya jika seseorang tidak mempunyai jilbab dan saudaranya tidak meminjami maka wanita itu tidak boleh keluar. Inilah indikasi (qarinah) bahwa perintah hadits tersebut adalah wajib. Dan jilbab yang dimaksudkan pada hadist ini bukan sekedar penutup aurat tetapi sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa jilbab: baju luar yang berfungsi menutupi tubuh langsung dari atas sampai bawah.

Pengertian ini dapat ditemukan juga dalam Tafsir Jalalain (lihat Tafsir Jalalain, jld. III, hal. 1803) yang diartikan sebagai kain yang dipakai seorang wanita untuk menutupi seluruh tubuhnya.

Jilbab selain harus luas dipersyaratkan harus diulurkan langsung ke bawah sampai menutupi dua telapak kaki. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu abbas dan juga dapat dipahami dari nash-nash yudnîna ‘alaihinna min jalabibihinna di sini bukan menunjuk sebagian tetapi untuk menjelaskan, sedangkan makna yudnîna adalah yurkhîna ila asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Jadi kesimpulannya jilbab harus diulurkan langsung ke bawah (tidak potong-potong/atas bawah) sampai menutup dua telapak kaki (bukan mata kaki). Hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar. Ibnu Umar berkata: Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa yang menyeret pakaiannya dengan sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” Ummu Salamah bertanya: “Bagaimana yang harus diperbuat para wanita terhadap ujung baju (jilbab) mereka?” Rasulullah menjawab: “Hendaklah mereka mengulurkan sejengkal.” Ummu Salamah bertanya lagi: “Kalau demikian terlihat kaki mereka.” Rasulullah menjawab: “Hendaklah mengulurkan bajunya sehasta dan jangan lebih dari itu.”

Dari sini jelas bahwa jilbab tidak boleh diulurkan bagian per bagian misalnya baju potongan, tetapi diulurkannya langsung dari atas ke bawah. Selain itu mengulurkannya harus sampai telapak kaki (bukan mata kaki), tidak boleh kurang dari itu, oleh karena itu apabila jilbabnya terulur sampai mata kaki dan sisanya (telapak kaki) ditutup dengan kaos kaki/sepatu, maka hal ini tidak cukup menggantikan keharusan irkha’ (terulurnya baju sampai ke bawah). Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah adanya irkha’, yaitu jilbab harus diulurkan sampai menutupi kedua telapak kaki sehingga dapat diketahui dengan jelas bahwa baju itu adalah baju di kehidupan umum. Apabila jilbabnya sudah terulur sampai ujung kaki tetapi jika berjalan kakinya masih terlihat sedikit seperti ketika menerima tamu, berjalan di sekitar rumah, maka hal ini tidak apa-apa walaupun tetap dianjurkan untuk ‘iffah (berhati-hati/menjaga diri). Hanya saja apabila aktivitas wanita tersebut membuat kakinya banyak terlihat semisal mengendarai sepeda, motor dan lain-lain maka diwajibkan untuk menggunakan penutup kaki apa saja seperti kaos kaki, sepatu dan lain-lain.

Memahami Pengertian Tabarruj

Tabarruj telah diharamkan oleh Allah SWT dengan larangan yang menyeluruh dalam segala kondisi dengan dalil yang jelas. Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah SWT:

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. an-Nûr (24): 60).

Pemahaman dari ayat ini adalah larangan bertabarruj secara mutlak. Allah membolehkan mereka (wanita yang berhenti haid dan tidak ingin menikah) menanggalkan pakaian luar mereka (jilbab), tanpa bertabarruj.

Sedangkan pengertian tabarruj adalah menonjolkan perhiasan, kecantikan termasuk bentuk tubuh dan sarana-sarana lain dalam berpenampilan agar menarik perhatian lawan jenis. Sarana lain yang biasa digunakan misalnya wangi-wangian, warna baju yang mencolok atau penampilan tertentu yang “nyentrik” atau perhiasan yang berbunyi jika dibawa jalan.

Orang tua (menopouse) boleh tetap mengenakan jilbab dan boleh juga mengenakan baju apa saja selain jilbab selama tidak menonjolkan perhiasan, kecantikan, bentuk tubuh ketika di kehidupan umum seperti di jalan-jalan,pasar, mall, dll. Jika wanita tua saja dilarang untuk bertabarruj, maka mafhum muwafaqahnya yaitu wanita yang belum berhenti haid lebih dilarang untuk bertabarruj.

Ayat lain yang melarang tabarruj adalah firman Allah SWT:

“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (Qs. an-Nûr [24]; 31).

Allah dalam ayat ini melarang salah satu bentuk tabarruj, yaitu menggerakkan kaki sampai terdengar bunyi gelang kakinya sehingga orang lain menjadi tahu perhiasan wanita yang menggerakkan kaki tersebut, yang berarti wanita tersebut telah menonjolkan perhiasannya. Dalil ini juga menjelaskan akan larangan tabarruj, yaitu menonjolkan perhiasan.

Tabarruj berbeda dengan perhiasan atau berhias. Tidak ada makna syara’ tertentu terhadap kata tabarruj, sehingga penafsiran kata tabarruj diambil dari makna lughawi (bahasa). Tabarruj secara bahasa berarti menonjolkan perhiasan, kecantikan termasuk keindahan tubuh pada laki-laki non muhrim. Dalil lain yang menerangkan bahwa tabarruj adalah menonjolkan perhiasan, keindahan tubuh pada laki-laki asing adalah seperti yang diriwayatkan dari Abi Musa Asy Sya’rawi:

“Wanita yang memakai parfum, kemudian melewati suatu kaum (sekelompok orang) supaya/sampai mereka mencium aromanya maka berarti dia pezina.”

Diriwayatkan pula dengan sabda Rasulullah Saw:

“Dua golongan penghuni neraka, saya belum melihat sebelumnya adalah: wanita yang berpakaian seperti telanjang dan wanita yang berjalan lenggak-lenggok di atas kepala mereka seperti punuk unta, maka mereka tidak akan masuk surga dan tidak mendapatkan baunya.”

Kata telanjang, berlenggak-lenggok dan seperti punuk unta menunjukkan arti agar tampak perhiasan dan kecantikannya. Atas dasar ini dapat dimengerti bahwa tabarruj tidak sama dengan sekedar perhiasan atau berhias, namun bermakna menonjolkan perhiasan.

Adapun mengenai perhiasan, maka hukum asalnya adalah mubah untuk dikenakan selama belum ada dalil yang mengharamkanya, hal ini sesuai dengan kaidah syara’, Hukum asal suatu benda (asy yâ’) adalah mubah.

Perhiasan adalah asy yâ’ (benda). Perhiasan apapun bentuknya adalah mubah selama belum ada dalil yang mengharamkannya. Sebagian perhiasan memang diharamkan Allah antara lain: seperti yang terungkap dari riwayat Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi melaknat wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut orang lain, wanita yang rambutnya minta disambungkan, wanita yang mentato, dan wanita yang minta ditato.”



Walaupun semula berhias dalam kondisi berkabung dibolehkan akan tetapi bisa menjadi haram manakala berhiasnya menggunakan perhiasan yang haram dan apabila berhiasnya sampai menjadikannya termasuk tabarruj yaitu menonjolkan perhiasan dan kecantikan di hadapan laki-laki asing (non mahrom).

Sumber :  https://id-id.facebook.com/notes/allah-is-the-one-only/bagaimanakah-aturan-islam-tentang-berpakaian-baik-bagi-laki-laki-ataupun-perempu/207063680031

Amanah dan Penerapannya

Amanah dan Penerapannya



A.    Pengertian Amanah
Rasulullah saw. bersabda, “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah; dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (Ahmad dan Ibnu Hibban)
Amanah adalah kata yang sering dikaitkan dengan kekuasaan dan materi. Namun sesungguhnya kata amanah tidak hanya terkait dengan urusan-urusan seperti itu. Secara syar’i, amanah bermakna: menunaikan apa-apa yang dititipkan atau dipercayakan. Itulah makna yang terkandung dalam firman Allah swt.: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah-amanah kepada pemiliknya; dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian menetapkan hukum dengan adil.” (An-Nisa: 58)
Ayat di atas menegaskan bahwa amanah tidak melulu menyangkut urusan material dan hal-hal yang bersifat fisik. Kata-kata adalah amanah. Menunaikan hak Allah adalah amanah. Memperlakukan sesama insan secara baik adalah amanah. Ini di perkuat dengan perintah-Nya: “Dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian menetapkan hukum dengan adil.” Dan keadilan dalam hukum itu merupakan salah satu amanah besar.
Itu juga di perjelas dengan sabda Rasulullah saw., “Setiap kalian adalah pemimpin dan karenanya akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Amir adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Lelaki adalah pemimpin di tengah keluarganya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan atas anak-anaknya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentangnya.
Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang itu. Dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.” (Muttafaq ‘Alaih)
Dan Allah SWT. berfirman: “Sesungguhnya Kami menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Namun mereka menolak dan khawatir untuk memikulnya. Dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim lagi amat bodoh.” (Al-Ahzab 72)
Dari nash-nash Al-Qur’an dan sunnah di atas nyatalah bahwa amanah tidak hanya terkait dengan harta dan titipan benda belaka. Amanah adalah urusan besar yang seluruh semesta menolaknya dan hanya manusialah yang diberikan kesiapan untuk menerima dan memikulnya. Jika demikian, pastilah amanah adalah urusan yang terkait dengan jiwa dan akal. Amanah besar yang dapat kita rasakan dari ayat di atas adalah melaksanakan berbagai kewajiban dan menunaikannya sebagaimana mestinya.

B.     Amanah dan Iman
Amanah adalah tuntutan iman. Dan khianat adalah salah satu ciri kekafiran. Sabda Rasulullah saw. sebagaimana disebutkan di atas menegaskan hal itu, “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah; dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (Ahmad dan Ibnu Hibban)
Barang siapa yang hatinya kehilangan sifat amanah, maka ia akan menjadi orang yang mudah berdusta dan khianat. Dan siapa yang mempunyai sifat dusta dan khianat, dia berada dalam barisan orang-orang munafik. Disia-siakannya amanah disebutkan oleh Rasulullah saw. sebagai salah satu ciri datangnya kiamat. Sebagaimana disampaikan Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya–, Rasulullah saw. bersabda, “Jika amanah diabaikan maka tunggulah kiamat.” Sahabat bertanya, “Bagaimanakah amanah itu disia-siakan, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran.” (Al-Bukhari)

C.    Macam-macam Amanah
Pertama, amanah fitrah. Dalam fitrah ada amanah. Allah menjadikan fitrah manusia senantiasa cenderung kepada tauhid, kebenaran, dan kebaikan. Karenanya, fitrah selaras betul dengan aturan Allah yang berlaku di alam semesta. Allah swt. berfirman: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul, (Engkau Tuhan kami) kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (Al-A’raf: 172).
Akan tetapi adanya fitrah bukanlah jaminan bahwa setiap orang akan selalu berada dalam kebenaran dan kebaikan. Sebab fitrah bisa saja terselimuti kepekatan hawa nafsu dan penyakit-penyakit jiwa (hati). Untuk itulah manusia harus memperjuangkan amanah fitrah tersebut agar fitrah tersebut tetap menjadi kekuatan dalam menegakkan kebenaran.
Kedua, amanah taklif syar’i (amanah yang diembankan oleh syari’at). Allah SWT. telah menjad©ikan ketaatan terhadap syariatnya sebagai batu ujian kehambaan seseorang kepada-Nya. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan fara-idh (kewajiban-kewajiban), maka janganlah kalian mengabaikannya; menentukan batasan-batasan (hukum), maka janganlah kalian melanggarnya; dan mendiamkan beberapa hal karena kasih sayang kepada kalian dan bukan karena lupa.” (hadits shahih)
Ketiga, amanah menjadi bukti keindahan Islam. Setiap muslim mendapat amanah untuk menampilkan kebaikan dan kebenaran Islam dalam dirinya. Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang menggariskan sunnah yang baik maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang rang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun.” (Hadits shahih)
Keempat, amanah dakwah. Selain melaksanakan ajaran Islam, seorang muslim memikul amanah untuk mendakwahkan (menyeru) manusia kepada Islam itu. Seorang muslim bukanlah orang yang merasa puas dengan keshalihan dirinya sendiri.
Ia akan terus berusaha untuk menyebarkan hidayah Allah kepada segenap manusia. Amanah ini tertuang dalam ayat-Nya: “Serulah ke jalan Rabbmu dengan hikmah dan nasihat 0yang baik.” (An-Nahl: 125)
Rasulullah saw. juga bersabda, “Jika Allah memberi petunjuk kepada seseorang dengan usaha Anda, maka hal itu pahalanya bagi Anda lebih dibandingkan deng0an dunia dan segala isinya.” (al-hadits)
Kelima, amanah untuk mengukuhkan kalimatullah di muka bumi. Tujuannya agar manusia tunduk hanya kepada Allah swt. dalam segala aspek kehidupannya. Tentang amanah yang satu ini, Allah swt. menegaskan: “Allah telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wahyukan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah-belah tentangnya.” (Asy-Syura: 13)
Keenam, amanah tafaqquh fiddin (mendalami agama). Untuk dapat menunaikan kewajiban, seorang muslim haruslah memahami Islam. “Tidaklah sepatutnya bagi orang-orang yang beriman itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.” (At-Taubah: 122)
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)

D.    MAKNA AMANAH
1.   Secara Bahasa: Bermakna al-wafa’ (memenuhi) dan wadi’ah (titipan)
2.   Secara Definisi: Seorang muslim memenuhi apa yang dititipkankan kepadanya. Hal ini didasarkan pada firman ALLAH SWT: “Sesungguhnya ALLAH memerintahkan kalian untuk mengembalikan titipan-titipan kepada yang memilikinya, dan jika menghukumi diantara manusia agar menghukumi dengan adil…” (QS 4/58)
Maka yang termasuk amanah bukan hanya dalam hal materi atau hal yang berkaitan dengan kebendaan saja, melainkan berkaitan dengan segala hal, seperti memenuhi tuntutan ALLAH adalah amanah, bergaul dengan manusia dengan cara yang terbaik adalah amanah, demikian seterusnya.

E.     DALIL-DALIL SYARIAT
1.   Al-Qur’an: Kedua firman ALLAH SWT di atas (QS 4/58; 33/72) dan QS 2/283; 8/27; 23/8; 70/32
2.   As-Sunnah:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban kelak di hari Kiamat, seorang pemimpin pemerintahan adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang rakyatnya, suami adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang anggota keluarganya, istri adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang rumah tangga suaminya serta anak-anaknya, dan seorang pembantu adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang harta benda majikannya, ingatlah bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban kelak di hari Kiamat.” (HR Muttafaq ‘alaih, dalam Lu’lu wal Marjan hadits no. 1199)
“Ada 4 perkara yang jika semuanya ada pada dirimu maka tidak berbahaya bagimu apa yang terlepas darimu dalam dunia: Benar ketika berbicara, menjaga amanah, sempurna dalam akhlaq, menjaga diri dari meminta.” (HR Ahmad dalam musnadnya 2/177; Hakim dalam al-Mustadrak 4/314 dari Ibnu Umar ra; berkata Imam al-Mundziri ttg hadits ini: Telah meriwayatkan Ahmad, Ibnu Abi Dunya, Thabrani, Baihaqi dengan sanad yang hasan, lih. At-Targhib wa Tarhib 3/589)

 F.     HUBUNGAN AMANAH DENGAN KEIMANAN
1.   Amanah Merupakan Tuntutan Iman, dan khianat merupakan tanda hilangnya keimanan dan mulai merasuknya kekafiran dalam diri seseorang. Sabda nabi SAW: “Tidak ada iman pada orang-orang yang tidak ada amanah dalam dirinya, dan tidak ada agama pada orang yang tidak bisa dipegang janjinya.” (HR Ahmad 3/135, Ibnu Hibban dalam shahihnya Mawarid azh-Zham’an-47, al-Bazzar dalam musnadnya Kasyful Astar-100, lih. Juga dalam Albani Shahih Jami’ Shaghir-7056.
2.   Hilangnya Amanah Merupakan Tanda Kiamat, yang salah satu cirinya adalah dipegangnya amanah oleh yang orang-orang bukan ahlinya dalam masalah tersebut. Sabda nabi SAW: “Ketika amanah telah disia-siakan maka tunggulah tibanya Kiamat.” Kata para sahabat ra: Bagaimanakah disia-siakannya wahai rasuluLLAH? Jawab nabi SAW: “Ketika suatu urusan dipegang oleh yang bukan ahlinya maka tunggulah tibanya Kiamat.’” (HR Bukhari dalam Fathul Bari’ hadits no. 59 dan 6496)
3.    Hilangnya Amanah Terjadi Bertahap, sebagaimana sabda nabi SAW: “Seorang tertidur maka hilanglah amanah dari hatinya bagaikan titik hitam, lalu ketika ia tertidur lagi maka hilanglah amanah tersebut bagaikan bekas/jejak, demikianlah seterusnya sampai tidak ada lagi amanah dihatinya, dan tidak ada lagi di hati manusia, sehingga mereka tidak menemukan lagi orang yang amanah. Maka berkatalah sebagian mereka: Di tempat anu masih ada seorang yang bisa dipercaya. Sampai dikatakan kepada seseorang: Ia tidak bisa dipegang, tidak berakal, tidak ada dihati mereka sebesar biji sawi dari keimanan.” (HR Muslim dalam Mukhtashar Shahih Muslim hadits no. 2035)

G.    JENIS-JENIS AMANAH
Islam adalah agama yang sempurna, ia adalah sistem yang mencakup IPOLEKSOSBUDHANKAM (Idiologi, POLitik, Ekonomi, SOSial BUDaya serta pertaHANan dan KeAManan). Islam tidak hanya bicara aqidah atau ibadah saja melainkan ia adalah sebuah sistem yang paripurna mencakup aqidah dan ibadah, agama dan negara, peradaban dan pedang.
Oleh karenanya maka amanah yang dibebankan ALLAH SWT atas seorang muslim adalah mengarahkan semua sistem di atas agar sesuai dengan aturan ALLAH SWT, dan membebaskan manusia dari penyembahan manusia atas manusia dalam seluruh aspek kehidupan menuju penyembahan kepada ALLAH SWT saja, tiada sekutu bagi-NYA, untuk-NYA kita beramal dan kepada-NYA kita akan kembali.
Oleh karena itu maka amanah yang diberikan kepada manusia adalah sebagai berikut:

  1. Amanah Fithrah: Yaitu amanah yang diberikan oleh Sang Pencipta SWT sejak manusia dalam rahim ibunya, bahkan jauh sejak dimasa alam azali, yaitu mengakui bahwa ALLAH SWT sebagai RABB/Pencipta, Pemelihara dan Pembimbing (QS 7/172).
  2. Amanah Syari’ah/Din: Yaitu untuk tunduk patuh pada aturan ALLAH SWT dan memenuhi perintah-NYA dan menjauhi larangan-NYA, barangsiapa yang tidak mematuhi amanah ini maka ia zhalim pada dirinya sendiri, dan bodoh terhadap dirinya, maka jika ia bodoh terhadap dirinya maka ia akan bodoh terhadap RABB-nya (QS 33/72).
  3.  Amanah Hukum/Keadilan: Amanah ini merupakan amanah untuk menegakkan hukum  ALLAH SWT secara adil baik dalam kehidupan pribadi, masyarakat maupun bernegara (QS 4/58). Makna adil adalah jauh dari sifat ifrath (ekstrem/berlebihan) maupun tafrith (longgar/berkurangan).
  4.  Amanah Ekonomi: Yaitu bermu’amalah dan menegakkan sistem ekonomi yang sesuai dengan aturan syariat Islam, dan menggantikan ekonomi yang bertentangan dengan syariat serta memperbaiki kurang sesuai dengan syariat (QS 2/283).
  5.  Amanah Sosial: Yaitu bergaul dengan menegakkan sistem kemasyarakatan yang Islami, jauh dari tradisi yang bertentangan dengan nilai Islam, menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar, menepati janji serta saling menasihati dalam kebenaran, kesabaran dan kasih-sayang (QS 23/8).
  6.  Amanah Pertahanan dan Kemanan: Yaitu membina fisik dan mental, dan mempersiapkan kekuatan yang dimiliki agar bangsa, negara dan ummat tidak dijajah oleh imperialisme kapitalis maupun komunis dan berbagai musuh Islam lainnya (QS 8/27).

Sumber :  https://sitichotijah269.wordpress.com/tugas-kuliah/tugas-internet-desing/artikel-pendidikan-agama-islam-pengertian-amanah-dan-penerapannya/

Cara dan Kiat Mudah Sholat Khusyu’

Cara dan Kiat Mudah Sholat Khusyu’



















Dalam shalat, kita dituntut untuk mendirikannya dengan khusyu’. Sebab dengan khusyu dalam shalat, amal ibadah kita akan diterima oleh Allah SWT, terhapus dosa-dosa kita, dan segala perilaku dan ucapan kita terjaga dari kemungkaran dan kefasikan.
Khusyu' juga menjadi bukti keikhlasan. Karena hanya mereka yang ikhlas ibadah karena Allah dan sholat karenaNya yang dapat melakukan khusyu' secara sempurna. Tanpa keikhlasan, maka seseorang hanya melakukan kekhusyu'an palsu atau yang sering disebut kekhusyu'an dusta.


Lalu bagaimana caranya agar mudah khusyu dalam shalat?

Pertama: Menghadirkan Hati.
Menghadirkan hati maksudnya adalah disaat kita sedang sholat maka saat itu sedang bermunajat, sedang berdiri berhadapan langsung dengan Sang Maha Kuasa, berdialog tanpa batas apapun. Maka dalam keadaan seperti itu yakinlah bahwa Allah sedang melihat, memperhatikan dan mengawasi gerak-gerik sholat kita. Benarkah sholat kita, dengan bacaan yang benar atau penuh dengan kesalahan dan lain sebagainya.
Maka alangkah bodohnya kita, jika kita sedang berhadapan langsung seperti itu, kita tidak merasa takut, atau bergetar dengan keberadaanNya dihadapan kita.

Kedua: Anggap saat itu adalah sholat yang terakhir.
Agar semakin khusyu’ anggaplah bahwa sholat tersebut sholat yang terakhir kali kita lakukan, karena bisa jadi usai shalat Allah mencabut nyawa kita. atau bayangkan, disaat kita sedang mengambil wudhu tiba-tiba datang malaikat maut menghampiri kita dan mengabarkan kita, bahwa usai sholat nanti dia akan mencabut nyawa kita. Subhanallah… bagaimanaka shalat kita saat itu? Shalat dengan penuh kekhusyuan atau shalat dengan main-main? Tentu kita akan sholat dengan sekhusyu’-khusyu’nya.

Ketiga: Tuma’ninah dan tidak tergesa-gesa dalam shalat.
Tuma’ninah atau keadaan tenang dan juga tidak tergesa-gesa juga merupakan cara agar shalat kita khusyu’. Sebab dengan ketenangan kita akan bisa focus dengan bacaan dan juga gerakan dalam shalat. Oleh karena itu, sebelum kita bertakbir memulai shalat, lebih dulu kita tinggalkan segala perkara duniawi, bisa jadi disaat kita sedang shalat, namun kita tergesar-gesa karena memikirkan masalah dunia (masakan, makanan, hp facebook dll) yang bisa merusak kekhusyukan kita dalam shalat.

Keempat: Tadabbur ayat-ayat  dan dzikir-dzikir yang dibaca dalam shalat
Cara keempat ini sangat penting untuk kita latih dan diterapkan saat shalat. Karena dengan mentadabburi ayat dan dzikir yang kita baca, maka kita akan semakin mudah untuk menggapai kekhusyuan dalam shalat. Banyak sekali orang yang hafal bacaan sholat, namun sangat sedikit sekali yang faham dan mengerti bacaan tersebut.
Silahkan menghafal bacaan shalat, tapi lebih baiknya lagi kita mampu meresapi maknanya. Sehingga pemahaman makna akan menambah ketenangan jiwa dan akan memberi dampak baik disaat sedang shalat atau disaat kita membaca surat lainnya dalam al Quran.

Kelima: Tartil dan memperbagus suara dalam membaca Al Quran.
Allah SWT memerintahkan kita untuk tartil disaat membaca Al Quran, terlebih lagi bacaan tersebut kita baca diwaktu shalat. Begitu juga kita dianjurkan untuk memperindah suara kita agar imam maupun makmum dalam shalat jamaah bisa tenang dan akhirnya mendapatkan kekhusyuan. Sebaliknya, jika kita tergesa dalam membaca atau tidak tartil, dari segi suara bacaan juga ‘disayangkan’. Maka hal tersebut tidak membuat kita khusyu’ namun malah mengganggu dalam shalat.

Keenam: Arahkan pandangan hanya ditempat sujud, dan tidak memalingkan kelainnya
Janganlah kita mengarahkan pandangan kita selain ke tempat sujud, sebab hal tersebut akan mengganggu kekhusyukan kita dalam shalat. Bahkan terdapat larangan dalam hadits untuk melihat ke atas disaat kita shalat, begitu juga memalingkan seluruh atau sebagian badan kita karena bisa membatalkan shalat kita, lantaran telah merubah qiblat disaat sedang shalat.

Ketujuh: Hindari segala hal yang bisa menyibukkan saat sedang shalat.
Seperti penggunaan alat-alat elektronik (handphone, tv, , penggunaan pakaian yang kurang pas, serta hal-hal lainnya yang bisa mengganggu kita dalam shalat. Maka hal-hal tersebut harus kita hindari agar shalat kita senantiasa terjaga dan tidak merusak kekhusyukan disaat sedang shalat.
Demikianlah beberapa kiat dan cara agar kita mudah khusyu dalam shalat. Dengan menerapkan kiat-kiat diatas, kami berharap semoga shalat kita senantiasa memberi pengaruh yang baik dalam kehidupan kita sehari-hari.

Sumber :  http://www.solusiislam.com/2013/03/cara-dan-kiat-mudah-sholat-khusyu.html

Batasan Pergaulan Antara Pria dan Wanita menurut Syariat Islam

Batasan Pergaulan Antara Pria dan Wanita menurut Syariat Islam


 

Islam menetapkan beberapa kriteria syar’i pergaulan antara laki-laki dan perempuan untuk menjaga kehormatan, melindungi harga diri dan kesuciannya. Kriteria syar’i itu juga berfungsi untuk mencegah perzinahan dan sebagai tindakan prefentif terjadinya kerusakan masal. Di antaranya, Islam mengharamkan ikhtilath (bercampur laki-laki dan perempuan dalam satu tempat) dan khalwat (berduaan antara laki-laki dan perempuan), memerintahkan adanya sutrah (pembatas) yang syar’i dan menundukkan pandangan, meminimalisir pembicaraan dengan lawan jenis sesuai dengan kebutuhan, tidak memerdukukan dan menghaluskan perkataan ketika bercakap dengan mereka, dan keriteria lainnya. Perkara-perkara ini, menjadi kaidah yang penting untuk kebaikan semuanya. Tidak seperti ocehan para penyeru ikhtilath, sesunguhnya perkara ini berbeda antara satu dengan lainnya, atau satu kebudayaan dengan lainnya, dan pengakuan lainnya yang tidak sesuai dengan kenyataan dan realita.

Interaksi dan komunikasi antara laki-laki dan perempuan sebenarnya boleh-boleh saja, dengan syarat wanitanya tetap mengenakan hijabnya, tidak memerdukan suaranya, dan tidak berbicara di luar kebutuhan. Adapun jika wanitanya tidak menutup diri serta melembutkan suaranya, mendayu-dayukannya, bercanda, bergurau, atau perbuatan lain yang tidak layak, maka diharamkan. Bahkan bisa menjadi pintu bencana, kuburan penyesalan, dan menjadi penyebab terjadinya banyak kerusakan dan keburukan.

Wajib berhati-hati, karena syetan terkadang menipu seseorang dengan merasa agamanya kuat tidak terpengaruh dengan percakapan itu. Padahal dia sedang terjerumus pada jerat kebinasaan dan berada di atas jalan kesesatan. Realita adalah saksi terbaik. Betapa banyak orang menentang petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan melanggar larangannya akhirnya ia tercampak di atas keburukan.

Barangsiapa yang tidak memiliki hajat untuk berinteraksi dengan lawan jenis, maka menjauhinya lebih baik dan selamat. Jika ada kebutuhan, wajib bagi semua kaum muslimin untuk menetapi ketentuan syar’i, di antaranya:

1. Ghadlul Bashar (menundukkan pandangan) berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nuur: 30)

2. Tidak berduaan dengan wanita asing (bukan mahram dan bukan istrinya).

Dalam Shahihul Bukhari, dari Ibnu Abbas radliyallah ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Tidak boleh seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali dia (wanita tadi) ditemani mahramnya.”

3. Berusaha agar tidak ikhtilath dengan gadis yang bisa menyebabkan fitnah. 

Dari Abu Sa’id bin Musayyib’d al-Khudri radliyallah ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya dunia itu manis dan indah. Allah menjadikan kalian berkuasa atasnya, untuk melihat apa yang kalian perbuat. Bertakwalah terhadap dunia dan wanita.” (HR. Muslim).

Dalam Shahihain, dari Usamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Tidak lah aku tinggalkan suatu fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnah wanita.”

4. Tidak bersalaman dengan wanita yang bukan mahram, karena diharamkan. 

Dalam Al-Mu’jam Al-Kabir milik Imam Ath-Thabrani, dari Ma’qil bin Yasar berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Andaikata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”

5. Allah telah memerintahkan beberapa adab yang agung kepada para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan segenap wanita umat ini masuk di dalamnya. 

“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.”(QS. Al-Ahzab: 32)

Dalam ayat itu, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa hati yang sakit tidak bisa bertahan dan bersabar diri dari sebab kecil yang mengundang keharaman, walau hanya suara yang halus dan lembut. Karena sudah menjadi sarana keharaman maka dilarang, mereka diwajibkan untuk tidak melembutkan perkataan ketika berbicara dengan laki-laki. Karena sarana memiliki hukum seperti tujuan.


Sumber : https://id-id.facebook.com/notes/majalah-islami-menyatukan-hati-dalam-sunnah-nabi/batasan-pergaulan-antara-pria-dan-wanita-menurut-syariat-islam/265755566775245

Hukum Islam Ada 5 Yakni Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh dan Haram

Hukum Islam Ada 5 Yakni Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh dan Haram



MADINATULIMAN - Menghukumi sesuatu tidak bisa dilakukan hanya dengan satu ayat atau hadits saja. Demikian juga menetapkan hukum apakah itu wajib ataukah haram. Bahkan, tidak semua perintah atau larangan didalam Al-Qur’an maupun Hadits hanya jatuh pada hukum wajib dan haram, ada kalanya dihukumi sunnah atau hanya makruh.
Salah satu faidah dalam mengetahui hukum ini adalah berkaitan dengan dakwah itu sendiri, adakalanya harus bertindak tegas, ada kalanya harus bisa bersikap tolerir. Faidah lainnya terkait dengan bagaimana menyikapi sesuatu baru. Sesuatu yang baru, yang belum ditetapkan hukumnya maka harus kaji dahulu hukumnya, tidak serta merta dikatakan haram. Didalam syari’at, setidaknya ada 5 hukum syara’ yang disepakati oleh Jumhur Ulama yakni :

1. Wajib, kadang disebut Fardlu. Keduanya sinonim. Yakni sebuah tuntutan yang pasti (thalab jazm) untuk mengerjakan perbutan, apabila dikerjakan mendapatkan pahala, sedangkan bila ditinggalkan maka berdosa (mendapatkan siksa). Contohnya, shalat fardlu, bila mengerjakannya maka mendapatkan pahala, bila ditinggalkan akan diadzab di neraka, demikian juga dengan kewajiban-kewajiban yang lainnya. 
Wajib terbagi menjadi dua yakni : Pertama, wajib ‘Ainiy : kewajiban bagi setiap individu. Kedua, wajib Kifayah : kewajiban yang apabila sudah ada yang mengerjakannya maka yang lainnya gugur (tidak mendapatkan dosa), contohnya seperti shalat jenazah, tajhiz jenazah (mengurus jenazah), menjawab salam dan sebagainya.
Istilah Wajib juga ada yang mensinonimkan dengan Lazim. Sebagian ulama ada yang membedakan antara Fardlu dan Wajib hanya pada beberapa permasalahan di Bab Haji.
Ada juga yang membedakan antara Fardlu dan Wajib, seperti Hanafiyah. Menurut mereka, Fardlu adalah sesuatu yang telah ditetapkan dengan dalil syar’i (maqthu’ bih) dan tidak ada keraguan didalamnya, seperti shalat 5 waktu, zakat, puasa, haji, iman kepada Allah. Hukum Fardlu adalah lazim (wajib) baik secara keyakinan maupun perbuatan sehingga apabila mengingkari (secara keyakinan) pada salah satu kefardluan itu maka kafir, namun bila meninggalkan saja (tidak mengerjakannya, seperti shalat 5 waktu dan semacamnya) maka fasiq. Sedangkan Wajib adalah kewajiban yang ghairul fardl (selain fardlu), sesuatu yang ditetapkan dengan dalil namun masih ada kemungkinan ketidak pastian (hasil ijtihad), hukumnya lazim secara perbuatan saja, tidak secara keyakinan. Apabila mengingkarinya, tidak sampai kafir namun terjatuh dalam syubhat. Sedangkan bila meninggalkannya maka berdosa dengan dosa yang kadarnya lebih sedikit daripada meninggalkan perbuatan yang sifatnya Fardlu, sebab kalau meninggalkan yang bersifat Fardlu maka disiksa dineraka, sedangkan meninggalkan yang sifatnya Wajib, tidak disiksa di neraka, namun ia terhalang dari syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam.
Jumhur ulama tidak membedakan antara Fardlu dan Wajib, bahkan ada yang menyatakan bahwa pembedaan seperti itu tidak tepat dan tidak berarti apa-apa. 

2. Sunnah, disebut juga Mandub, Mustahabb, Tathawwu, Al-Nafl, Hasan dan Muragghab fih. Semuanya bersinonim. Yakni sebuah anjuran mengerjakan yang sifatnya tidak jazm (pasti), apabila dikerjakan mendapat pahala, namun apabila ditinggalkan tidak berdosa.
Sunnah juga terbagi menjadi 2, yaitu : Pertama, sunnah ‘Ain : sesuatu yang disunnahkan pada setiap orang (individu) yang mukallaf, seperti shalat-shalat sunnah ratibah dan lainnya. Kedua, sunnah Kifayah : sesuatu yang disunnahkan, apabila ada sebagian yang telah mengerjakannya, maka yang lain gugur, seperti seseorang memulai salam ketika bersama jama’ah (memulai bukan menjawab, penj), dan lain sebagainya. Sehingga bila sudah ada yang mengerjakannya, maka hilang (gugur) tuntutan terhadap yang lainnya, namun pahalanya bagi yang mengerjakan saja.
Sebagian ulama seperti Malikiyah membedakan antara istilah sunnah dan mandub. Sunnah menurut mereka adalah sebuah tuntutan syara’, bentuk perintahnya sangat ditekankan, namun tidak ada dalil yang mewajibkannya, apabila dikerjakan mendapat pahala, namun apabila ditinggalkan tidak disiksa, seperti shalat witir dan shalat hari raya. Sedangkan mandub adalah sebuah tuntutan syara’ yang tidak jazm (tidak pasti), bentuk perintahnya tidak terlalu ditekankan, apabila dikerjakan mendapat pahala, namun bila tidak dikerjakan tidak disiksa, contohnya didalam Malikiyah adalah shalat sunnah 4 raka’at sebelum dzuhur.
Selain itu, sunnah dari sisi tuntutannya, terbagi menjadi 2 yakni : sunnah Muakkad (sunnah yang sangat ditekankan) dan sunnah ghairu Muakkad (anjuran tidak terlalu ditekankan).
Sedangkan menurut Hanafiyah, ada perbedaan terkait sunnah Muakkad.  Menurut mereka, sunnah Muakkad, bentuknya kewajiban yang sempurna, jika meninggalkannya maka tetap berdosa, namun dosanya lebih sedikit daripada meninggalkan Fardlu (dibawah tingkatan Fardlu). Sedangkan sunnah ghairu Muakkad, menurut mereka adalah sejajar dengan Mandub dan Mustahab. 

3. Mubah, bila dikerjakan atau ditinggalkan tidak apa-apa, tidak mendapatkan pahala atau pun disiksa (sebuah pilihan antara mengerjakan atau tidak). Misalnya, memilih menu makanan dan sebagainya.

4. Makruh, yakni sebuah tuntutan yang tidak pasti (tidak jazm) untuk meninggalkan perbuatan tertentu (larangan mengerjakan yang sifatnya tidak pasti), apabila dikerjakan tidak apa-apa, namun bila ditinggalkan akan mendapatkan pahala dan dipuji. 
Menurut sebagian ulama, istilah Makruh ini ada yang menyatakan dengan Khilaful Aula (menyelisihi yang lebih utama). 

5. Haram, yakni tututan yang pasti untuk meninggalkan sesuatu, apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf maka mendapatkan dosa, namun bila ditinggalkan mendapatkan pahala. Contohnya seperti minum khamr, berzina dan lain sebagainya. Istilah haram juga kadang menggunakan istilah Mahdzur (terlarang), Maksiat dan al-danb (berdosa).
Menurut Hanafiyah, istilah Haram adalah antonim dari Fardlu (mereka membedakan antara Fardlu dan Wajib). Ada juga istilah makruh Tahrim dan makruh Tanzih. Makruh Tahrim adalah sebuah istilah yang lebih dekat dengan Haram, serta merupakan kebalikan dari Wajib dan Sunnah Mu’akkad. Sedangkan istilah makruh Tanzih, tidak disiksa bila mengerjakannya dan mendapatkan pahala bila meninggalkannya. Istilah makruh Tanzih menurut Hanafiyah adalah kebalikan dari sunnah ghairu Muakkad.
Ulama juga ada yang kadang menyatakan dengan istilah Halal, itu adalah kebalikan dari Haram, namun masih ambigu, yaitu bisa hukum wajib, hukum mandub dan makruh. Bila meninggalkan perbuatan yang hukum wajib, maka berdosa. Adapun yang lainnya (mandub dan makruh) bila ditinggalkan ataupun dikerjakan tidaklah berdosa.


Sumber : http://www.madinatuliman.com/3/2/560-hukum-islam-ada-5-yakni-wajib,-sunnah,-mubah,-makruh-dan-haram.html